Sabtu, 08 Juli 2017

Bapakku, Sang Penjual Mie yang Aku Banggakan (Bagian II)

Bapakku, Sang Penjual Mie yang Aku Banggakan (Bagian II)

Baca Juga

Pak Min, bapak penjual mie


Bapak memperhatikan cara tetangganya memasak mie dan nasi goreng. Di sela-sela waktu berjualan, tetangganya itu sedikit-sedikit mengajari tips-tips memasak mie dan nasi goreng. Kurang lebih dua bulan bapak ikut tetangganya berjualan mie.
Kemudian bapak pindah rumah ke kakak perempuannya, Mbok De Karto, di Kerten Solo. Di sini bapak memberanikan diri untuk berjualan mie keliling sendiri. Dengan uang celengan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, bapak membuat angkringan sendiri, beli perlengkapan sendiri, dan belanja sendiri. Bapak mulai berjualan keliling kampung Kerten, Purwosari, dan Manahan.
Kehidupan bapak masih belum banyak berubah. Kehidupan keras sepanjang malam di jalaninya dari kampung ke kampung. Kemudian bapak mencoba keberuntungan di kota lain. Bapak pindah berjualan mie ke Kota Sragen.
Di kota ini, bapak berjualan tidak lama, hanya beberapa bulan saja. Bapak merantau lagi ke tempat yang lebih jauh dengan membawa angkringannya dan tas koper kecil tempat pakaian. Bapak pergi mengadu nasib ke Muntilan, Magelang. Tidak ada sanak saudara di kota kecil ini. Ketika malam tiba, bapak keliling berjualan mie di sepanjang pertokoan Muntilan.
Banyak orang Cina pemilik toko yang menjadi pelanggannya. Ada seorang pelanggan yang memberikan 'resep rahasia' untuk membuat masakan mie dan nasi goreng menjadi lebih enak. Awalnya, bapak tidak terlalu tertarik mencobanya. Namun, karena penasaran bapak mencoba 'bumbu resep' itu, ternyata tambahan bumbu itu membuat masakan mie-nya menjadi lebih enak.
Muntilan hanyalah kota kecil. Meskipun masakannya lebih enak, tetapi penjualannya tidak banyak meningkat. Akhirnya, dengan sisa uang yang ada bapak pergi ke kota Magelang yang lebih ramai.
Masih segar dalam ingatan saya, ketika bapak menceritakan kisahnya sampai di Kota Magelang. Bapak turun dari angkot di jalan tentara pelajar, tepatnya di dekat Bank BRI. Dulu jalan ini adalah jalan utama Jogja-Semarang. Sisa uang di sakunya tinggal 50 perak, tidak cukup untuk modal berjualan.
Kemudian bapak pergi ke pasar dan mencari bahan-bahan dagangan dengan cara hutang. Bayarnya besok hari setelah mendapat uang. Ada beberapa pedagang pasar yang mau memberinya hutang bahan. Dengan modal belanjaan hutang itulah Bapak berjualan mie pertama kali di Kota Magelang.
Tas koper kecilnya diselipkan di bawah angkringan, dan kadang-kadang dijadikan alas duduk. Malam itu bapak tidur di emperan toko, karena belum punya tempat tinggal.
Beberapa hari kemudian bapak punya sedikit uang tambahan. Kemudian bapak mencari tempat untuk di sewa. Bapak mendapat tempat kecil, 'slompetan' bekas kandang ayam di rumahnya Mbah Ali Jambon. Di ruang sempit ini pertama kali bapak tinggal.
Setiap malam bapak memikul angkringan berjualan mie dan nasi goreng dari kampung ke kampong, berjalan menyusuri pertokoan pecinan Magelang. Seiring berjalannya waktu pelanggannya semakin banyak. Bapak membuat tempat berjualan yang lebih baik, yaitu gerobak. Kalau sebelumnya dipikul sekarang didorong.

Pada saat inilah bapak bertemu emak dengan bantuan Mbah Sastro. Akhirnya bapak dan emak menikah. Bapak tetap berjualan mie keliling, lama kelamaan bapak mulai menetap jualannya seiring dengan bertambahnya pelanggan.
Bapak mendapat tempat berjualan yang tetap di depan hotel Pringgading. Kalau pagi tempat itu digunakan untuk berjualan soto ayam Pak Sarju, kalau malam bapak yang berjualan di tempat itu. Bapak masih memakai gerobak dorong dan tidak ada naungannya. Kalau malam sudah agak larut, ada juga penjual sate madura keliling yang berhenti di situ. Saya masih ingat sekali kalau pergi ke warung kadang-kadang dibelikan sate oleh bapak.
Pelanggan bapak semakin banyak. Bapak kemudian berfikir untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga bisa membuat warung tenda untuk tempat berjualan.
Akhirnya bapak mendapat tempat di halaman rumah Pak Soekidjo yang letaknya cuma berseberangan jalan dengan tempat sebelumnya. Di tempat ini bapak membuat tenda dan meja untuk berjualan.
Pada saat itu, kami tinggal di rumah kecil di kampung Jambon Wot. Saya masih kelas satu dan adik saya belum sekolah. Kadang-kadang kalau malam kami ikut berjualan di warung, bermain-main di pinggir jalan dan sekali-kali membantu mencuci piring dan gelas kotor.
Saya sekolah di sekolah SD Inpres Cacaban 2, sekolah kecil di balik Gunung Sukorini (Karena tidak ada muridnya, SD Cacaban 2 sekarang sudah ditutup). Saya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Tidak ada yang mengajariku belajar, karena bapak dan emak sibuk berjualan dan mereka tidak pernah sekolah. Tidak bisa baca-tulis bagaimana bisa mengajari anaknya sekolah?
Walikota Magelang saat itu, Bapak Bagus Panuntun, berencana untuk menertibkan pedagang kaki lima. Pak Walikota membuatkan kompek warung di bekas pembuangan sampah di Lereng Jambon. Ada 30 warung yang dibangun dan bapak mengambil dua warung untuk berjualan mie.
Kampung itu bernama Jambon Tempel Sari. Warung semakin berkembang dan kehidupan keluarga kami lebih banyak di warung daripada di rumah. Tidak beberapa lama kemudian kami pindah ke warung yang cuma berukuran 8x6 m itu. Tempat tidur kami adalah kolong meja tempat bapak berjualan. Mungkin ada pelanggan yang tidak sadar, ketika mereka makan, di bawahnya ada anak-anak yang sedang tidur.
Warung semakin ramai dan pelangan semakin banyak. Warung bapak diberi nama 'Warung Bakmi Pak Mien'. Bapak mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Bapak juga membeli beberapa becak untuk disewakan. Lereng belakang warung dijadikan 'kandang becak', ada tujuh becak yang dimiliki bapak.
Ketika uang yang terkumpul banyak, bapak mulai membangun rumah di belakang warung. Ketika itu saya masih kelas 3 atau 4 SD. Saya masih ingat nama tukangnya, Pak Manduro.
Beberapa sanak saudara juga ikut membantu; Lik Pangat, Pak De Sapari, Pak De Mudakri, dan Mbah Amad Dakwan, si mbahku sendiri. Kalau pulang sekolah saya membantu mengangkat batu bata sambil memperhatikan mereka bekerja. Bapak juga ikut membantu membangun rumah ketika pekerjaan warung selesai.
Bapak orang yang sangat rajin bekerja. Kalau orang bilang 'ora duwe wudel'. Kalau pagi kerja membangun rumah, malam berjualan. Meskipun tidak mahir, bapak bisa 'nukang kayu' dan 'nukang batu'. Rumah kami itu dibangun sedikit demi sedikit. Kalau ada uang dibelikan material, kalau uang habis berhenti. Alhamdulillah, akhirnya rumah kecil itu jadi juga. Saya tidak lagi tidur di kolong meja, tapi sudah punya kamar sendiri.
Pada saat saya masih SD, bapak yang hanya penjual mie itu sudah bisa membangun rumah sendiri. Bapak lebih hebat dari saya karena disaat anak-anak saya hampir lulus SD, rumah saya kreditnya belum lunas, kecil lagi.
Sisa tanah di sebelah barat kemudian di bangun juga oleh bapak. Kali ini yang mengerjakan lebih banyak oleh bapak sendiri dan selesainya lebih lama.
Sungguh saya sangat hormat dengan kegigihan dan ketekunan bapak bekerja dan membangun rumah tempat kami berteduh. Ketika saya lulus SD, bapak membelikan 40 ekor bebek untuk saya dan membuatkan kandang di belakang rumah.
Setiap hari sebelum berangkat sekolah saya 'angon bebek' dulu. Telur-telurnya lumayan untuk tambah uang jajan. Bapak juga membuatkan saya gerobak kaki lima di pinggir jalan Diponegoro. Setiap sore hingga malam saya berjualan rokok, permen, dan minuman di warung gerobak itu.
Alhamdulillah, dengan dorongan bapakku, akhirnya aku bisa kuliah di Universitas Soedirman Purwokerto. Bapak membiayai kuliahku dari hasil berjualan mie. Tidak lama setelah saya lulus ujian, bapak jatuh sakit tepat setelah sholat Idul Fitri.
Beliau terkena serangan stroke dan harus rawat inap PKU Muhammadiyah Solo. Saya selalu menunggui bapak selama di rumah sakit. Hanya sekali saja saya meninggalkannya, karena saya harus ke kampus untuk mendaftar wisuda. Alhamdulillah, akhirnya bapak sembuh.
Setelah sembuh, bapak membangun bagian atas warung menjadi mushala. Pembangunan itu bapak kerjakan sendirian. Semua bahannya dari kayu dan papan. Subhanallah, bapak semakin sehat dan semakin rajin beribadah. Ketika kampung kami membangun masjid, bapak sangat giat membantu pembangunan masjid itu.
Bapak ikut menyumbang tenaga dan material untuk pembangunan masjid. Setelah masjid itu berdiri, bapak hampir selalu shalat wajib di masjid. Subhanallah, Allahuakbar. Dengan dorongan dan doa bapak, saya bisa melanjutkan kuliah saya di Institut Pertanian Bogor, dilanjutkan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan saya bisa melakukan penelitian di Chalmers University of Technology, Gothenburg.
Suatu malam, sekitar pukul satu dini hari, ponsel saya berdering. Saya sudah tidur dan malas mengangkatnya. Ketika pagi sehabis shalat subuh, saya lihat HP saya dan ternyata adik saya yang menelpon. Tidak biasanya adik saya menelepon dini hari. Beda waktu kami 6 jam. Dia biasanya menelpon siang, saya menerimanya malam hari.
Tidak beberapa lama telepon berbunyi lagi, adik saya menelpon. Dari kejauhan dengan suara berat adik saya mengabarkan kalau bapak sudah tidak ada dan sekarang menunggu dikebumikan.
Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Serasa disamber geledek pada saat itu. Antara tidak percaya dan serasa di mimpi, kalau bapak yang sangat saya cintai dan sangat saya hormati telah tiada.
Saya menangis seperti anak kecil di pangkuan istri saya. Hati saya hancur berkeping-keping. Bapak tiada ketika saya berada jauh darinya, saya tidak bisa menemani bapak ketika menghadapi sakaratul maut. Padahal dulu ketika bapak sakit keras, saya selalu berada di sisinya. Saya juga tidak bisa pulang untuk menghadiri pemakamannya.
Menurut cerita adik dan keluarga, bapak meninggal mendadak. Sehari sebelumnya bapak masih kerja bakti membuat tower tandon air dan membangun atapnya.
Sore hari, ketika hujan turun, tetangga-tetangga yang lain berteduh dari hujan, tetapi bapak masih bekerja dan menyelesaikan pembuatan atap tandon air sumur umum yang letaknya di samping rumah itu.
Selepas magrib bapak pergi ke rumah Si mbah menghadiri acara tahlilan tiga hari meninggalnya Simbah Wedok. Pukul sebelas malam, bapak pulang ke rumah dan masih sempat membuat mie instant. Pukul dua belas malam, bapak masih bercanda ngobrol dengan teman-teman adikku dan tetangga rumah.
Biasanya sebelum adzan subuh bapak sudah pergi ke masjid. Hari itu bapak belum bangun sampai lewat adzan subuh. Oleh emak dibiarkan saja, karena dikira bapak masih kecapaian setelah bekerja keras kemarin hari.
Namun, ketika jam sudah hampir menunjuk angka 6 bapak belum bangun juga, emak membangunkan bapak. Bapak diam saja, dan emak menjadi panik. Emak lari memanggil adik saya.
Adik saya segera datang dan membangunkan bapak. Bapak diam tetap diam saja, kemudian adik saya menelpon tetangga yang menjadi perawat untuk memeriksa bapak. Pagi itu bapak dikabarkan sudah meninggal dunia. Adik saya langsung menelpon saya, tapi karena saya masih tidur dan dini hari saya tidak menjawab panggilan telepon itu.
Pagi itu suasana rumah jadi ramai, tetangga-tetangga seakan tidak percaya dengan meninggalnya bapak. Kabar menyebar cepat, orang-orang ramai datang ke rumah. Bapak Walikota Magelang, anggota DPRD, sanak-saudara, dan pelanggan-pelanggan bapak datang ikut mengantarkan jenazah bapak dikuburkan di pemakaman Giridarmoloyo.
Selamat jalan bapak, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu, menerima semua amal-amalmu, dan menjagamu seperti engkau menimangku ketika aku masih kecil. Kini, seperti yang selalu bapak harapkan, akhirnya anakmu bisa menyelesaikan kuliah. Mendapatkan gelar pendidikan tertinggi dan gelar ini aku persembahkan untukmu.
Bapak, aku akan selalu mengingat kisah hidupmu yang selalu engkau ceritakan padaku. Kisah itu selalu membakar semangatku. AKan kuceritakan kisahmu pada anak-anakku dan cucu-cucumu. Agar mereka selalu mengenangmu dan mendoakan engkau. Bapak, aku selalu bangga padamu. Tamat. (Cerita ini dikirim oleh Isroi, Magelang)


Related Posts

Bapakku, Sang Penjual Mie yang Aku Banggakan (Bagian II)
4/ 5
Oleh